Wednesday 7 January 2009

PENCUCI BUS DAPAT UPAH MINIM DARI KONDEKTUR

OLEH KHOLIED MAWARDI


Sebuah bus dari Jember masuk ke dalam terminal Brawijaya Banyuwangi. Kondisi bus kotor terkena debu. Para penumpang bergegas turun. Mereka berhamburan keluar secara teratur. Tukang ojek, sopir angkot, dan abang becak mendekati kerumunan penumpang yang baru turun. Mereka menawarkan jasa mengantar ke alamat tertentu.

Setelah penumpang keluar semua, sopir memindahkan bus ke sebelah pojok. Rupanya bus mau dicuci agar kembali bersih dari debu yang menempel. Seorang pemuda berjalan mendekati bus tersebut. Ada kain lusuh dan timba kecil yang dibawanya. Tak lupa cairan sabun pencuci piring aroma jeruk nipis ikut dibawa pria tersebut. Dia sudah tahu apa yang harus dikerjakan. Mencuci bus sampai bersih.

Yanto (25) satu diantara tukang cuci bus mengaku sudah lima tahun lebih bekerja mencuci bus yang ada di terminal Brawijaya. "Lumayan dapat Rp15 ribu-Rp20 ribu sekali mencuci bus. Biasanya sehari bisa mencuci dua-tiga bus," katanya ketika ditemui sedang "memandikan bus".

Pria yang memiliki dua putra ini bisa mendapat upah lebih yaitu Rp25 ribu bila mau membersihkan badan bus hingga atap bus. "Tapi jarang kondektur bus minta atap bus dibersihkan. Paling bagian kaca depan dan samping, serta bagian dalam bus saja yang dibersihkan," tambahnya.

Yanto harus membayar air yang digunakan untuk mencuci bus. "Biasanya membayar Rp2.000,00. Kalau tangga yang dipakai membersihkan kaca bus gratis," katanya dengan tubuh berkeringat.

Yanto mengaku kesal bila mencuci bus yang terkena hujan di daerah Probolinggo tapi begitu memasuki wilayah Jember dan Banyuwangi tidak terkena hujan. "Kotoran yang menempel sulit dibersihkan karena sebelumnya percikan air hujan berubah menjadi noda. Tapi namanya profesi ya harus tetap dilakukan," katanya sambil mengelap bus dengan kain kering.

Waktu yang dibutuhkan mencuci sebuah bus, menurut Yanto biasanya membutuhkan waktu 1 jam. Penuh perjuangan memandikan bus yang terkena debu.

Ditemui terpisah, Mulyono (25) rekan seprofesi Yanto mengatakan, tidak ada persaingan dalam bisnis mencuci bus. "Bila ada teman yang belum kebagian mencuci bus, ketika kondektur bus butuh jasa pencucian bus, maka teman yang belum mencuci bus pada hari itu yang akan mencuci bus. Walau setiap kondektur biasanya punya langganan tukang cuci bus," katanya sambil beristirahat di bale di bawah rindangnya pohon.

"Disini pakai sistem kekeluargaan. Semua pencuci bus rata-rata sudah kenal sejak kecil karena rumahnya di dekat terminal," tambahnya.

Selain Yanto dan Mulyono, masih ada sekitar 15 pemuda yang berprofesi sebagai pencuci bus. Ketika ditanya mengapa mau menekuni profesi ini, Mulyono mengaku, ijazahnya SD. "Sulit cari kerja di zaman sekarang. Apalagi ijazah yang saya punya hanya SD," katanya memelas.

Faktor pendidikan membuat para pencuci kesulitan beralih profesi. Mereka silau dengan penghasilan yang langsung diterima usai mencuci bus. Padahal jumlah bus yang minta dicucikan jumlahnya menyusut. Jumlah penumpang bus yang menurun membuat jumlah bus yang dicucikan dalam sehari menurun drastis.

"Kadang bus dicuci sendiri oleh awak bus sendiri. Mereka tidak punya cukup upah untuk membayar tukang cuci bus. Pernah ada yang minta dicucikan busnya tapi dibayar beberapa hari lagi. Kami sepakat tidak mau menerima tawaran itu. Mencuci hari ini ya bayarannya harus hari ini juga. Mau kasih apa anak dan istri kita?" katanya memberi alasan.

Saat ini sebagian warga Banyuwangi yang akan ke Malang memilih menaiki sepeda motor daripada naik bus. "Secara tidak langsung ini memengaruhi pendapatan kami juga. Pasalnya jumlah penumpang menurun," katanya berasumsi.

Menurut Mulyono, sebagian pencuci bus biasanya beralih menjadi sopir bus. "Tapi hal itu jarang saat ini. Dulu sebelum krisis moneter 1998, armada bus banyak sehingga kebutuhan sopir meningkat. Penyebabnya penumpang banyak. Kini yang terjadi malah sebaliknya," katanya sambil menyulut rokok.***7***(T.PWP49)

No comments: