Sunday 8 March 2015

PENCULIK ANAK


Namanya Adit. Singkat dan mudah diingat, bukan? Kuketahui nama seorang bocah laki-laki yang masih sekolah di sebuah SD favorit di tengah kota buaya ini dari bedge nama di baju yang dikenakan siang itu di sebuah taman kota . Dari penampilannya, dia termasuk anak yang menyenangkan untuk dilihat. Rapi dan bersih. Jauh dari kesan kemproh. Pasti ibunya pandai merawat dan mencuci baju seragamnya dengan hati tulus. *** Berbeda dengan istriku yang selalu ogah-ogahan mencuci. Kamar mandi penuh baju kotor menumpuk. Belum lagi di gantungan baju di belakang pintu kamar tidur, berjajar baju kotor yang menjadi sarang nyamuk. Ada saja alasan yang dikemukakan. Mulai dari capai membersihkan rumah, memberi makan ayam dan burungku berjumlah puluhan yang ada di sangkar belakang rumah kontrakan yang penuh sesak dan pengap. Tiap detik ibu dari anak-anakku bermuka masam. Tak enak dilihat. Selalu memakai daster lusuh yang sudah banyak dikrikiti tikus. Banyak lubang di mana-mana. Apalagi diajak kelon di keheningan malam. Sudah seminggu ini gairah kelaki-lakianku tak terlampiaskan. Bukan sudah padam tak ada bara api asmara menggelora dalam diriku. Sejatinya gairahku sudah di ubun-ubun minta dilampiaskan. Bagaimana bisa memenuhi nafkah batin, ketika masih foreplay, istriku selalu mengungkit-ungkit hutang yang sudah menumpuk untuk dilunasi mengalahkan tinggi apartemen dan kondominium paling jangkung sekali pun di kota ini. Langsung saja pikiranku tak bisa dikompromi. Malah kulepaskan pelukan eratku di pinggang istriku yang masih ramping walau sudah bersalin di klinik Bu bidan tiga kali. Lenyap sudah gairah semalam ditandai lunglainya jimat kebanggaanku. Kumemilih membelakangi punggung daripada menatap lekat wajah belahan jiwaku yang wajahnya khas Jawa. Istriku tidaklah jelek amat. Dulu, dia termasuk kembang desa. Aku beruntung bisa menikahinya, setelah menyingkirkan empat pemuda kaya dan berpenghasilan mapan di desaku. Cara yang kutempuh menggondol istriku termasuk licik. Ku minta bantuan dukun berpengaruh di desaku dan kurenggut paksa keperawanannya di gubuk reot di tengah sawah. Saat itu kuamati calon istriku di sungai seorang diri dan rute yang biasa dilewati pergi dan pulang dari sungai. Tak mungkin masih ada orang berlalu-lalang menyusuri pematang sawah dan mengguyur tubuh menjadi basah oleh air dari mata air ketika menjelang sang surya beranjak pergi digantikan tempatnya oleh rembulan malam. Dia tak tahu kehadiranku yang hendak berniat buruk yang telah lama membuntuti dirinya. Kupeluk erat tubuhnya dari arah belakang hingga sulit bernapas sambil kusumpal mulut mungilnya menggunakan sapu tangan lusuh. Kemudian kubopong tubuhnya ke gubuk reot beralaskan jerami bukan di kasur spring bed mewah di hotel berbintang. Setelah kejadian kelam itu, dia menolak mentah-mentah lamaran dari beberapa pria yang hendak menyuntingnya sebagai permaisuri di saat menjadi Raja dan Ratu sehari. Orang tuanya marah besar karena anak gadis semata wayang tak jadi menikah dengan pria pilihan orang tuanya. Tetangga pada takjub dan heran setelah dia mengumumkan calon suaminya adalah aku, pemuda pengangguran bermasa depan suram. Telah kuambil sarinya bunga yang seharusnya kuhisap sesudah kami mengucapkan ikrar sakral sehidup semati di depan penghulu, keluarga, dan tetangga. Setelah menikah, kuajak dia ke kota mencari peruntungan. Pekerjaan tetap sulit hinggap padaku. Sering ditolak menjadi pegawai karena tidak punya kenalan, ijazah, dan keahlian. Yang kumiliki cuma menyetir mobil. Dulu pernah jadi sopir saat masih di kampung. Istriku sudah lama tidak memakai kosmetik, parfum dan baju yang layak pakai. Ku sudah lupa kapan terakhir kali mengajaknya ke pasar tradisional untuk membeli beberapa potong baju untuknya dan anak-anak kami. Mungkin tiga tahun atau malah lima tahun lalu. Aku sebagai suami termasuk gagal. Tidak mampu mencukupi kebutuhan.keluarga Termasuk membelikan pemoles bibirnya yang ranum merekah. Bibir seksinya membuat diriku ketagihan melumat habis dan menjejalkan lidahku menyusuri rongga mulutnya. Di warung sebelah, sudah dua ratus sekian ribu rupiah yang harus dibayar. Belum lagi cicilan motor yang hampir ditarik lagi oleh dealer bila dalam seminggu tidak mampu membayar. Padahal SPP ketiga anak-anaku nunggak empat bulan. Belum lagi kemarin, Ibu Aisyah, pemilik kontrakan, menarik uang sewa setahun sekali. Kuberbohong minggu depan dapat melunasi uang sewa kontrakan yang angka nolnya berjumlah enam. Dari mana bisa dapat uang banyak dalam waktu sekejab? Menang dari judi togel? Hari gini masih mimpi? *** Adit tidak seperti anak bungsuku. Tiap hari ketika si bungsu pulang dari sekolah, seragamnya selalu berubah warna. Pagi hari masih bersih dari noda membandel. Siang hari sudah berubah warna. Kotor. Entah kena ingus, keringat hingga debu nakal yang mudah disuruh angin bergerak ke suatu tempat. Labil dan tidak punya pendirian. Seperti diriku. Tak punya tujuan jelas untuk dapat membahagiakan keluarga. Terbukti dari tetap putihnya seragam yang dikenakan Adit untuk menutupi badan dari sengatan sinar mentari yang cukup terik di kala siang hari di Surabaya yang gerah dan basah keringat mengucur deras tanpa perintah. Ternyata Adit termasuk anak yang mudah akrab. Sekali pun orang baru berjumpa dengannya. Seperti halnya diriku yang hanya seorang sopir salah satu taxi dari sebuah operator yang tidak punya pelanggan tetap dan armada yang pas-pasan. Maksudnya, pas dibuat menarik penumpang, AC tidak bisa maksimal membuat nyaman konsumen. Pas di jalanan yang macet, mobil taxiku mogok di tengah jalan. Tidak mau diajak cari uang. Kontan, penumpang langsung mengumpat kesal. Ogah membayar sekian rupiah sesuai yang tercantum di argo yang ku setting melebihi angka normal. *** “Kita akan kemana nih, Om ? Adit sudah capai! Kapan Om ajak Adit ke Papa?” terus bicara saja anak kecil ini. Bagiku bukan pertanyaan lagi. Malah pantas disebut omelan. Sama halnya istriku yang selalu ngomel minta uang dapur nambah. Kata istriku, “Biar dapur tetap mengebul, suami harus kasih uang banyak. Masak uang dapur sehari lima ribu. Mana cukup mas! Beras mahal dan langka belum beli air bersih, minyak tanah, uang jajan si bungsu, belum lagi iuran RT.” “Masak Adit lupa. Ini kan rute ke kantor Papa.” ujarku pelan. Kuajak Adit berputar-putar, biar dia bingung dan tak tahu jalan menuju rumah maupun ke kantor Papanya. “Bukankah di pertigaan Diponegoro tadi, Om ambil jalan ke kiri. Pasti nggak nyasar. Kan kantor Papa di jalan Kartini? Kok Om malah terus? Kan tadi Om janji mengantar Adit ke kantor Papa?” sahut Adit penuh keyakinan dimana letak kantor Papa sebenarnya dan mencoba mengingatkan janjiku. Ku kemudikan mobil taxiku perlahan menyusuri jalan yang biasa digunakan kupu-kupu malam menebar kehangatan semu di malam yang dingin. Sering taxiku dipakai kencan sesaat pria haus gairah dengan wanita penebar kehangatan. Kudisuruh putar-putar di jalanan kota. Alasan si pria ingin mencari sensasi dan mengikuti salah satu jejak gaya hidup yang terekam di dalam buku Jakarta Under Cover. Ku tak peduli jok belakang penuh bekas peluh keringat. Asalkan si pria mau membayar sesuai yang dimaui argo taxi yang telah kumanipulasi, membayar tip sekian ratus rupiah, juga diberi bonus besar dari si cewek. Kalau apes cuma mengantarkan dua sejoli yang ingin menghilangkan dinginnya malam kelam dan menumpahkan gairah yang bergelora di dada di sebuah kamar hotel yang banyak jumlahnya betebaran mulai kelas melati hingga bintang lima . Otakku memeras keringat tanpa mempedulikan akan kemana arah mobilku melaju. Tak peduli hingga akhirnya mobilku pergi ke daerah yang dulu pernah menjadi pusat pemerintahan kota . Tiba-tiba ku terngiang keinginan seorang ibu rumah tangga yang beberapa hari lalu ku antar ke rumah orang tuanya. Ibu itu bertutur mengeluh, sudah mengarungi bahtera rumah tangga selama sepuluh tahun, namun tidak juga hadir buah hati pengikat dua hati, gelak tawa, dan tangis dari rahimnya di rumahnya yang megah. Ku mengingat-ingat letak rumah orang tua Ibu yang di anggap mandul oleh suaminya. Tercetus ide ingin mendapatkan puluhan juta rupiah hasil dari menjual Adit yang mulai terserang kantuk kepada Ibu malang itu. Ku membayangkan akan bahagianya istri dan anak-anakku mengetahui Ayahnya pulang dari narik taxi bawa uang segepok. Tak dinyana, tiba-tiba ada seorang bocah yang mengendarai sepeda mini menyebrang tanpa menoleh ke kanan dan kiri. Spontan ku injak rem. Adit teriak keras, “Ada apa Om? Apa kita menabrak sesuatu? Tanya Adit penuh selidik. Ku teringat anak-anakku. Ku tak mau mencelakai dua bocah sekaligus. Pertama Adit dan kedua bocah yang kini tergeletak lemas tak berdaya karena shock berat. Untung tak ada memar dan luka sedikit pun dari tubuh mungilnya. Ku urungkan niat mengeruk pundi dari hasil menjual anak orang lain daripada hidup tidak tentram. Terus kepikiran. Bahagia di atas derita orang lain. Setelah mengantarkan si bocah yang senak udelnya dewe menyebrang ke rumah orang tuanya, ku antarkan Adit pulang di salah satu perumahan elit di Surabaya . Tak terbersit kecurigaan pada dirinya yang semula akan ku jual ke orang yang tidak punya anak. *** Sesampainya di rumah, istriku mengutarakan niat ingin menjual saja si bungsu kepada Bu Amir yang tidak punya anak setelah melewati usia sewindu pernikahan untuk melunasi semua hutang kita. “Mas setuju, kan ?” kata istriku. Surabaya , 2 April ’07 23.30-01.55 WIB. Kholied Mawardi adalah alumni Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris Universitas Negeri Surabaya. Saya pernah menjadi reporter harian Surabaya Pagi, www.suarasurabaya.net, dan www.antarajatim.com. Kini menjadi pengajar Bahasa Inggris di MTs Miftahul Ulum, Kemlagi, Mojokerto. read more get more

No comments: