Thursday 25 December 2008

WANITA PERKASA KULI ANGKUT PASIR

Sebuah truk berhenti di seberang sanggar seni desa Bakungan. Kernet truk turun, kemudian dia membuka bak belakang. Ternyata truk tersebut mengangkut pasir. Pasir diturunkan di halaman milik warga seberang sanggar itu.

Sedikit demi sedikit pasir di truk menyusut. Sedangkan di sebelah pojok tanah pekarangan warga ditimbuni pasir.

Bentuknya menyerupai bukit kecil kehitaman. Dua wanita datangi timbunan pasir. Tidak lupa sudah membawa skrop untuk memindahkan pasir ke dalam timba.

Rehani (35) dan Mustamilah (40) merupakan dua wanita tipe pekerja keras. Demi menambah pemasukan keuangan keluarga, keduanya rela menjadi kuli angkut pasir.
Sekitar enam skrop pasir yang dimasukkan ke dalam timba warna hijau oleh Mustamilah. Kemudian, Mustamilah ganti mengisi timba milik Rehani.

Kain yang dibawa keduanya dibentuk menyerupai gulungan. Tak lama kemudian, kain yang sudah berubah warna itu ditaruh diatas kepala mereka. Sekitar lima kilo gram pasir yang mereka "sunggi" (ditaruh di atas kepala).

Agak kesulitan bila langsung menempatkan timba berisi pasir di atas kepala. Mustamilah terlebih dulu mengangkat kaki kirinya, kemudian timba ditaruh diatas kepalanya. Begitu pula yang dilakukan Rehani.

Mengangkut pasir dalam satu truk oleh keduanya diselesaikan selama dua hari. Namun, tidak tampak dari sorot matanya ekspresi mengeluh. Upah yang minim tidak membuat kedua wanita asal desa Bakungan, Glagah, Banyuwangi ini malas bekerja.

"Mulai kerja dari jam 07.00 WIB sampai jam 16.00 WIB. Upah yang diberikan hanya Rp50 ribu. Itupun harus dibagi dua, tapi dapat jatah makan siang dan penganan dari orang yang minta bantu angkut pasir," ujar Mustamilah.

Menjadi kuli angkut pasir sungguh tidak membuat mereka malu terhadap tetangga. "Buat apa malu sama tetangga. Yang penting apa yang kita lakukan pekerjaaan halal dan tidak mencuri. Terserah kalau tetangga menyebut kita apa," ujar Mustamilah.

Mustamilah menambahkan, pekerjaan menjadi kuli angkut pasir dari pinggir jalan raya dibawa ke rumah warga yang akan membangun sudah berlangsung lama. "Sejak awal pernikahan, saya sudah kerja bantu suami. Mau kerja apa izasah cuma SD, jahit menjahit tidak ada bakat. Bisanya angkut pasir, ya lakukan saja," imbuhnya.

Ketika ditanya apa pekerjaan suami mereka, keduanya menjawab suami mereka menjadi buruh serabutan. "Kerjaan suami jadi buruh. Kerjanya tidak tentu, makanya istri ikut kerja," jawab Rehani.

Kalau capai habis angkut pasir siapa yang memijat? "Ya, dipijat sendiri. Kalau manggil tukang pijat bayar Rp20 ribu. Uangnya darimana? Makanya dipijat sendiri," kata Rehani.
Mustamilah mengaku memijati tubuhnya sendiri bila merasa capai. "Uang untuk bayar tukang pijat bisa untuk beli lauk pauk. Paling pijat setahun sekali saat tubuh terasa remuk," ujarnya sambil tertawa.

Kok tidak minta pijat suami? Keduanya langsung meringis. "Sudah tua masa masih romantis-romantisan sama suami," kata keduanya kompak.

Selain jadi kuli angkut pasir, keduanya tidak menampik bila diminta angkut batu bata.
"Hitungannya 1000 batu bata yang diangkat diberi upah Rp40 ribu. Apa saja yang diminta bantu orang lain, saat nganggur ya ambil saja tawaran itu," kata Rehani.

Saat banyak hajatan pesta pernikahan dan sunatan, keduanya sering diminta bantuan. "Jadi tukang cuci piring dan gelas kotor. Kan pekerjaan kuli angkut batu tidak setiap hari. Apa yang ada saja yang dilakukan," imbuh Mustamilah.

Kerja mengangkut pasir bagi sebagian orang dianggap pekerjaan melelahkan. Namun, bagi keduanya mengaku jarang sakit selama ini. "Anggap saja angkut pasir itu olahraga. Alhamdulilah jarang sakit walau pekerjaan kami cukup berat," pungkasnya. ***7***(T.PWP49)


No comments: