Thursday 25 December 2008

POTRET BURAM NELAYAN MUNCAR

Selepas azan subuh berkumandang, hawa dingin menusuk tulang ketika memasuki wilayah Kecamatan Muncar, sekitar 35 Km dari kota Banyuwangi. Terlihat rombongan beberapa warga bersepeda pagi. Serta beberapa anak muda berjalan beriringan disisi jalan, Minggu pagi. Berolahraga mumpung hari masih pagi.

Perjalanan menuju Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Berak Muncar sempat terhenti sesaat. Akibat ada beberapa pedagang di depan pasar Muncar yang nekad menggelar barang dagangan hingga di jalan.

Ketika berada di TPI Berak Muncar, di dermaga penghasil ikan terbesar kedua di Indonesia penuh kapal bersandar. Jumlahnya kapal beraneka warna itu ratusan. Ratusan kapal yang bersandar sungguh indah dilihat dari kejauhan.

Beberapa ibu-ibu dan tukang manol (kuli angkut ikan dari kapal terus dibawa ke TPI) menanti kapal bermuatan ikan tiba merapat ke dermaga. Ternyata kapal pengangkut ikan masih belum tiba.

Mifta (24) datang ke dermaga untuk membeli ikan. Tidak untuk dijual lagi, tapi untuk dikonsumsi seluruh keluarga. "Mau beli ikan. Nggak banyak, paling sekitar 1-2 kilo ikan tongkol," jawab pria asal desa Blambangan Muncar ini.

Saat matahari mulai menyinari pantai dengan cahaya emas keperakan, terlihat sekitar 100 meter dari bibir pantai ada empat kapal yang berhenti. Tak jelas kapal yang tengah bersandar di tengah pantai itu membawa banyak tangkapan ikan atau malah sebaliknya.

Tak lama kemudian, kapal berukuran kecil yang sebelumnya bersandar di dekat dermaga mulai mendekati kapal yang penuh ikan di tengah pantai. Bisa disebut kapal ukuran kecil itu berperan sebagai "tukang ojek".

Kapal pencari ikan memlih bersandar di tengah pantai karena di bibir pantai penuh lumpur dan ceceran limbah pabrik. Sangat membahayakan nelayan bila mencari ikan di tengah laut, kapal menjadi bau dan licin. Makanya para nelayan dari dan akan melaut menaiki kapal yang lebih kecil untuk menuju daratan.

Para tukang manol sudah bersiap dengan memindahkan becaknya ke pinggir dermaga. Sebagaian dari mereka dengan berpasangan membawa bambu berdiameter 10 cm bersiap turun ke pantai. Serta beberapa ibu-ibu sambil membawa timba mulai bergerak ke pinggir dermaga.

Kapal kecil yang bergerak ke tengah pantai mengambil ikan tangkapan nelayan, sudah kembali ke dermaga hanya membutuhkan waktu sekitar 10 menit. Tukang manol turun ke pantai menarik kapal kecil agar bersandar di tempat yang telah ditentukan. Mereka tidak mempedulikan ancaman sakit gatal dan panas akibat terkena air laut di sekitar pantai yang terkena limbah pabrik.

Nelayan yang masih di kapal mengambil bambu. Kemudian keranjang penuh ikan sudah dipanggul tukang manol. Ny Romli (46) adalah satu diantara ibu-ibu yang sudah bersiap membeli ikan dari nelayan yang kembali dari laut dengan membawa timba.

Mereka memberi upah tukang manol untuk mengambil keranjang berisi ikan dari kapal sebanyak Rp 6 ribu. Kemudian timba yang penuh ikan dikirmkan ke pabrik pengolahan ikan dengan menggunakan becak milik tukang manol. Tentu Ny Romli memberi upah tambahan Rp 10 ribu karena tukang manol sudah mengantarkan ikan ke gudang milik pabrik.

"Kalau beli tujuh timba isinya ikan tongkol bayarnya Rp 110-120 ribu. Ikan tongkol per kilonya dihargai Rp 8 ribu," ujar wanita yang telah 26 tahun membantu suami berdagang ikan. Sedangkan suaminya sendiri berprofesi sebagai nelayan.

Sapto Abdullah (30) seorang nelayan yang beruntung. Kemarin sore Sapto bersama 30 orang yang tergabung dalam satu tim pergi mengarungi ganasnya ombak Samudera Hindia. Nasib mujur menyertai timnya yang mampu membawa pulang 10 keranjang besar penuh ikan tongkol.

Berapa penghasilan yang didapat? Menurut lelaki yang sudah lima tahun menjadi nelayan ini, dibagi sesuai jabatan masing-masing. "Misalnya 10 keranjang yang beratnya 1 ton ikan tongkol laku Rp 10 juta, yang Rp 5 juta untuk operasional dan sewa kapal. Nahkoda, operator mesin, dan lampu bayarannya lebih banyak. Sisanya dibagi untuk para nelayan," ungkapnya sambil menyulut rokok.

Sementara itu, Suryadi beserta 24 orang kembali ke dermaga Muncar dengan tangan kosong. Padahal kemarin sekitar pukul 13.00 WIB mereka melaut. "Sejak bencana tsunami 1994 silam, jumlah tangkapan ikan menurun. Ditambah musim hujan dan ada oknum nelayan yang menggunakan jaring pukat harimau membuat tangkapan agak sepi," katanya.

Sapto dan Suryadi sama-sama tidak setuju bila rencana penambangan emas di kawasan Hutan Lindung Gunung Tumpangpitu (HLGTP) Desa Sumberagung Kecamatan Pesanggaran Banyuwangi menjadi kenyataan. "Nelayan Muncar bisa jatuh miskin bila ada limbah Tailing yang dibuang ke laut. Akibatnya banyak ikan yang mati," jawab Sapto.

Penambangan emas di selatan Banyuwangi akan menambah buram potret kelam nelayan Muncar. Serta nelayan lain di Pancer, Rajegwesi, Grajakan, Puger, bahkan Sendang Biru dipastikan akan terancam limbah Tailing.
Terbukti ikan menjadi urat nadi kawasan pesisir pantai selatan Pulau Jawa. Apa jadinya di bila tidak ada ikan di meja makan? Ataukah ikan yang kita makan sudah terkontaminasi limbah pabrik pengolahan ikan dan sampah domestik rumah tangga yang dibuang ke sungai kemudian mengalir ke laut? ***2*** (PWP 49)

No comments: