Thursday 25 December 2008

MENAMBANG BELERANG

BERTARUH NYAWA, INGIN MERAUP BANYAK RUPIAH
Oleh Kholied Mawardi


Rimbunan pohon dan rerumputan berbaris menghiasi pemandangan menuju gunung Kawah Ijen (2.386 m.dpl) di daerah perbatasan tiga kabupaten yaitu Banyuwangi, Bondowoso, dan Situbondo. ANTARA memasuki kawasan gunung Kawah Ijen dari jalur Bondowoso, Selasa pagi. Wisatawan yang ingin melihat danau belerang yang bisa berubah warna ini juga bisa melewati jalur Licin, Banyuwangi.

Perjalanan dari pusat kota Bondowoso menuju Paltuding, kecamatan Sempol, Bondowoso (1880 m.dpl) dapat ditempuh oleh kendaran selama tiga jam. Paltuding menjadi tempat parkir kendaraan, kemudian dilanjutkan aktivitas pendakian menuju gunung Kawah Ijen sekitar 2 jam.

Perjalanan menuju Paltuding melintasi beberapa perbukitan. Banyak tikungan tajam menghadang menantang adrenalin petualangan. Sayang, beberapa bagian dari jalan aspalnya mengelupas.

Medan jalan yang berat sangat disukai wisatawan mancanegara (wisman). Namun, sebagian wisatawan nusantara (wisnu) mengaku kapok mendatangi kawah penghasil belerang untuk kali kedua.

Hawa dingin dan angin bertiup sepoi-sepoi menyambut wisatawan yang akan mendaki gunung Kawah Ijen di Paltuding. Saat ANTARA tiba di pos pertama ini, senyum mentari sudah merekah.
Makan pagi dilakukan di sebuah gazebo yang dibangun Pemprov Jatim. Terasa beda saat sarapan sambil melihat lukisan Tuhan. Ada perasaan damai dan tenteram. Sesuatu pemandangan yang jarang ditemui di perkotaan yang banyak dipenuhi hutan beton.

Embun di pagi hari masih bisa dilihat dari pucuk rerumputan yang terlihat basah. Maklum keberangkatan dari Wisma Argowilis milik Pemkab setempat sekitar jam 03.00 dini hari.
Beberapa penambang belerang berjalan berbaris. Mereka membawa dua keranjang yang dihubungkan bambu. Siap memikul belerang dari bibir Kawah Ijen. Bekal nasi dan air minum dibawa dalam pendakian menambang.

Sepatu boat dikenakan untuk melindungi kaki. Topi yang sudah pudar digunakan untuk menghalau sinar matahari yang menyengat. Linggis digunakan untuk "mencongkel" belerang yang keluar dari perut bumi.

Wisatawan asing sangat menyukai melihat aktivitas penambangan tradisional belerang. Pekerjan penuh resiko karena sering menghirup asap belerang. Mereka hanya gunakan kain sarung lusuh yang diberi tetesan air untuk menangkis asap belerang. Bukan masker yang dikenakan.

Sekitar 200 penambang belerang tradisional di gunung Kawah Ijen , hilir mudik setiap hari mengangkut belerang dari bibir kawah. Senyum mereka pada wisatawan saat berpapasan menunjukkan keramahan.

Sebagian dari mereka membawa dua keranjang pikulan yang diletakkan di bebatuan yang ada di pinggir jalur pendakian. Tidak perlu risau keranjang yang diletakkan begitu saja dipinggir jalan akan diambil penambang lain.

"Semua sudah tahu keranjang penuh belerang berwarna kuning itu milik siapa. Tidak akan diambil penambang lain," ujar Masit (40) satu diantara penambang belerang.

Pria yang sudah 20 tahun menjadi penambang ini menambahkan, setelah menambang belerang, para pekerja dari Candi Ngrimbi melakukan penimbangan di pos bundar. "Disana ada petugas yang akan memberi nota berapa kilo belerang yang kita ambil. Kemudian di penampungan belerang di Paltuding akan ditimbang ulang," katanya.

Berapa penghasilan yang didapat dari pekerjaan penuh resiko ini? Menurut Masit, per kilo belerang diberi upah Rp600. "Saya hari ini bisa angkut belerang 50kg. Tinggal kalikan saja berapa upah yang saya dapat per harinya," tambahnya.

Penghasilan yang langsung diberikan setelah menambang, membuat banyak warga sekitar yang jadi penambang belerang. "Menambang belerang ini gajiannya per hari. Tidak seperti pekerjan lain yang harus nunggu dua minggu sekali atau sebulan sekali baru bayaran," ujar Rudi (35) penambang belerang.

Ketika ditanya kenapa tidak menggeluti profesi lain, Rudi mengaku sudah pernah bercocok tanam tapi hasilnya tidak memuaskan. "Pernah nanam di Bondowoso tapi tidak berhasil. Kalau jadi penambang saat sehat bisa setiap hari dua kali menambang belerang. Rata-rata belerang yang saya ambil 70kg," tambah penambang belerang yang sudah lebih dari 10 tahun ini.

Dadang Setyo, administrasi pengelola tambang belerang mengatakan, belerang yang ditampung di Paltuding kemudian dibawa ke pabrik Candi Ngrimbi di Licin, Banyuwangi. Di pabrik, belerang dihancurkan hingga berbentuk butiran halus. Kemudian butiran belerang dikemas dalam kantong ukuran 50kg siap dikirim ke Surabaya.

Belerang dari kawah Ijen, lanjut Dadang, kebanyakan digunakan untuk memutihkan gula. "Namun, kita tidak tahu belerang yang sudah dikirim ke Surabaya akan dibawa ke pabrik pembuatn bedak kulit, kosmetik, dan sabun," ujarnya.

Para penambang tetap melakukan pendakian ulang alik kawah Ijen. Pabrik memberi susu sapi pada mereka untuk mengurangi resiko dari asap belerang dan asupan gizi. Entah sampai kapan tetap menambang belerang. Pekerjaan yang banyak menghasilkan banyak rupiah namun penuh resiko, tetap dilakoni agar dapur tetap mengebul.***7***(T.PWP49)

No comments: